Wednesday, October 3, 2018

Ini Dia Anekdot Singkong "Mogol"

Jakarta - Satu disaat beberapa Kiai Nahdlatul Ulama (NU) bergabung. Santapan yg disediakan merupakan singkong goreng. Kiai A ambil sepotong singkong goreng serta menggigitnya, terus tak diduga tersenyum sembari berkata, " Waduh, singkongnya mogol. "

Baca juga : contoh teks anekdot

Kiai B menimpali, " Singkong mogol itu seperti penganut radikalisme. "

Kiai C juga menimpali, " Benar, tokoh radikal memang seperti singkong mogol, tak enak. "

Kiai D lantas menimpali, " Singkong mogol baru enak bila kembali digoreng hingga tak mogol lagi. "

Kiai E turut menimpali, " Singkong dimaksud mogol mempunyai arti belum juga cukuplah masak atau tetap 1/2 masak, merasa keras disaat digigit atau dipijit, sebab itu kerap dibuang ke tempat sampah. Dalam masalah ini, orang bakal malas buat kembali menggoreng singkong yg mogol lantaran memang benar ada model singkong yg terus mogol walaupun udah digoreng lagi hingga gosong. "

Kiai F gak pengin tinggal diam, " Singkong yg terus mogol meski udah digoreng hingga gosong jangan sampai dilewatkan tumbuh dimana-mana biar tak tiada henti menyebabkan kerusakan citra singkong keseluruhannya. Jangan sempat lantaran ada satu-dua singkong yg mogol lantas semua singkong dikira mogol. "

Kiai G turut bicara, " Soal singkong mogol nyata-nyatanya bukan soal remeh, dapat berubah menjadi bahan diskusi serius. Bila dilanjut dapat berubah menjadi seminar yg butuh tinjauan mendalam menurut rekomendasi dalil-dalil pelbagai disiplin pengetahuan. "

Seperti itulah anekdot yg tersebar di lingkungan NU. Anekdot itu menampung pelajaran : begitu tokoh radikal atau penganut radikalisme yg suka kekerasan bagai singkong mogol. Butuh digoreng lagi hingga sungguh-sungguh masak.

Digoreng lagi bermakna belajar serta ngaji lagi dengan membaca tambah banyak buku serta kitab berisi pelbagai ajaran Islam serta pandangan humanisme universal agar dapat tahu kalau kenyataannya Islam merupakan rahmatan lil-alamin, bukan radikal, bahkan juga kenyataannya tak ada Islam radikal.

Artikel Terkait : teks anekdot
Lewat kata beda, di mata kiai NU, siapa-siapa saja sebagai tokoh radikal atau penganut radikalisme pastinya kurang ngaji. Referensinya pastinya tetap kurang komplet. Sebab itu, cukuplah beresiko apabila memperoleh peluang berdakwah dihadapan umat yg saling kurang ngaji atau bahkan juga tidak sempat ngaji.

Walaupun demikian, faktanya, memang benar ada model orang yg terus radikal walaupun udah cukuplah lama ngaji serta banyak membaca. Orang demikian menyerupai dengan model singkong yg mogol alias tak dapat masak walau udah digoreng hingga gosong.

Sekolah serta Ngaji

Apabila pemerintah kita memang mau menghindar serta menanggulangi radikalisme biar tak berkembang di negeri ini, sepatutnya mencontoh NU dalam mendidik santri-santrinya. Umpamanya, di samping sekolah umum, santri disarankan ngaji.

Udah bisa dibuktikan dulu kala kalau metode pendidikan yg di ambil NU, ialah sekolah serta ngaji, nyata-nyatanya sangatlah manjur buat menghindar generasi muda berubah menjadi radikal. Belumlah ada santri yg udah pantas dimaksud lulus sekolah serta ngaji di lingkungan NU sebagai tokoh radikal atau penganut radikalisme.

Demikian sebaliknya, semua yg udah lulus sekolah serta ngaji di lingkungan NU pastinya berubah menjadi tokoh moderat. Kenyataan ini gak dapat dibantah lagi. Bila umpamanya ada tokoh radikal yg mengakui sempat sekolah serta ngaji di lingkungan NU, pastinya dia belum juga pantas dikira udah lulus. Bagaikan singkong, dia tetap mogol, butuh digoreng lagi. Atau, mungkin saja dia memang seperti model singkong yg mogol walau udah cukuplah lama digoreng hingga gosong, karena itu tak pantas jadikan pemimpin, ditambah lagi teladan.

Peristiwa juga tunjukkan kalau tokoh radikal tidak bisa diikuti oleh penduduk NU, lantaran penduduk NU udah tahu kalau dia gak pantas disertai. Dalam masalah ini, ikuti orang yg kurang ngaji sama seperti bersedia disesatkan atau turut tersesat.

Menentukan Pemimpin

Di lingkungan NU juga laku sikap rendah hati serta ikhlas. Umpamanya, golongan kiai NU saling tahu kekurangan semasing serta tiap-tiap menunaikan pekerjaan dilandasi dengan tekad ikhlas.

Sebab itu, pemerintah butuh juga belajar terhadap NU dalam menentukan pemimpin lembaga-lembaga pemerintahan yg ada, biar tak ada perkara korupsi atau penyalahgunaan wewenang yg merugikan negara serta bangsa. Dalam masalah ini, NU bisa dibuktikan senantiasa menentukan pemimpinnya dengan seleksi ketat menurut jujur dan berkarakter kuat serta mutu intelektual.

Faktanya, dahulu Gus Dur di ambil berubah menjadi Ketua Umum PBNU lantaran memang sangat banyak membaca kitab serta buku dibandingkan ulama NU yg beda.

Begitu juga KH Said Aqil Siroj di ambil berubah menjadi Ketua Umum PBNU, salah satunya lantaran sempat menulis disertasi dengan 1000 rekomendasi ; konon belumlah sempat ada tokoh beda di negeri ini yg bisa melaksanakannya.

Berkenaan seleksi kepemimpinan NU, udah berubah menjadi rutinitas kalau deretan kiai NU tidak sempat rebutan jabatan lantaran semua udah saling tahu manakah yg pantas di ambil menjadi pemimpin. Mempunyai arti, semua yg terasa kurang pantas berubah menjadi pemimpin lantaran ada tokoh beda yg lebih pantas bakal menampik dicalonkan buat ikuti proses penentuan pemimpin NU.

Umpamanya, dalam Muktamar Ke-33 NU di Jombang 2015 terus, Gus Mus menampik di ambil berubah menjadi Rais Aam PBNU lantaran ada KH Ma'ruf Amin yg dikira lebih pantas di ambil. Dalam masalah ini, KH Ma'ruf Amin memang lebih tua dibandingkan Gus Mus.

Sesungguhnya, metode menentukan pemimpin yg laku di NU sama seperti metode menentukan imam salat sesuai sama syariat Islam. Ialah, yg sangat alim serta sangat tua. Sangat alim tentunya sangat komplet ilmunya, yg dapat dibuktikan salah satunya sangat fasih membaca ayat-ayat suci. Dan sangat tua kebanyakan sangat banyak pengalaman pimpin serta di pimpin, hingga sangat bagus di ambil untuk jadi imam salat.

Dengan metode menentukan pemimpin versus NU atau versus syariat Islam, kemungkinannya kecil bakal diwarnai suap-menyuap, kolusi, serta nepotisme yg berekor merajalelanya korupsi.

Dahulu serta Kini

Radikalisme (menurut KBBI mempunyai arti : 1. Mengerti atau saluran yg radikal dalam politik ; 2. mengerti atau saluran yg menghendaki pergantian atau pengembangan sosial serta politik melalui langkah kekerasan atau mencolok ; 3. Sikap berlebihan dalam saluran politik.

Apabila buka peristiwa, dahulu semua pejuang kemerdekaan negara serta bangsa Indonesia juga dipandang sebagai beberapa tokoh radikal oleh para penjajah. Bahkan juga para penjajah punyai makna lebih negatif lagi buat menyebutkan mereka : ekstremis.

Konkretnya, semua pejuang memang radikal dalam memperjuangkan kemerdekaan negara serta bangsa Indonesia. Semisalkan mereka tak radikal dalam berjuang, kemungkinan negara serta bangsa Indonesia belum juga merdeka hingga saat ini.

Tetapi, buat dewasa ini, di Indonesia terutama, tokoh radikal dikira negatif lantaran punya sikap serta berperilaku radikal yg persis dengan sukai kekerasan. Sialnya lagi, semua teroris bisa dibuktikan memang punya sikap serta berperilaku radikal serta pantas dikira beresiko untuk siapa lantas lantaran memang udah bisa dibuktikan tega membunuh siapa-siapa saja termasuk juga membunuh diri pribadi.

Tidak hanya itu, dalam konteks negara serta bangsa Indonesia yg udah merdeka, tokoh radikal atau penganut radikalisme tak pantas mengakui sama seperti banyak pejuang kemerdekaan, lantaran radikalisme sehabis merdeka persis dengan pemaksaan kehendak alias kekerasan pada bangsa sendiri yg terdiri dalam beraneka ragam suku, agama, ras, grup, yg selayaknya semasing punya sikap moderat serta sama sama toleransi.

Oleh sebab itu, di negeri ini tokoh radikal memang pantas dikira seperti singkong mogol, sikap serta perilakunya butuh dilunakkan dengan belajar serta ngaji lagi, biar tahu juga pentingnya sikap moderat serta toleransi jadi ketentuan utama menjiwai hidup damai serta nyaman dalam berbangsa serta bernegara yg merdeka.

Cuman persoalannya, berikut ini yg sangatlah runyam : tokoh radikal lazimnya terasa sangat benar serta sangat cerdas hingga tak sadar begitu kenyataannya dirinya sendiri butuh belajar serta ngaji lagi.

Buat konteks global, yg pantas jadikan contoh mutahir tokoh radikal pada waktu saat ini nyata-nyatanya malahan Donald Trump, lantaran sikap radikalnya dipertegas berbentuk pengakuannya pada Yerusalem jadi ibu kota Israel. Dalam masalah ini, Trump butuh diingatkan biar bersedia belajar lagi serta ngaji biar tak menjaga sikap radikalnya itu yg sangatlah beresiko untuk perdamaian dunia!

Manaf Maulana pengamat budaya politik

No comments:

Post a Comment